Definisi Bidah
Kesepuluh
ISLAM ADALAH AGAMA YANG SEMPURNA
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
B. Definisi Bid’ah
Bid’ah sama dengan kata al-ikhtira’ yaitu yang baru yang diciptakan tanpa ada contoh sebelumnya[1]. Imam asy-Syathibi berkata ketika mendefinisikan bid’ah, “Bid’ah adalah cara baru dalam agama yang dibuat menyerupai syari’at dengan maksud untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah.”[2]
Ungkapan ‘cara baru dalam agama’ itu maksudnya, bahwa cara yang dibuat itu disandarkan oleh pembuatnya kepada agama. Tetapi sesungguhnya cara baru yang dibuat itu tidak ada dasar pedomannya dalam syari’at. Sebab dalam agama terdapat banyak cara, di antaranya ada cara yang berdasarkan pedoman asal dalam syari’at, tetapi juga ada cara yang tidak mempunyai pedoman asal dalam syari’at. Maka, cara dalam agama yang termasuk dalam kategori bid’ah adalah apabila cara itu baru dan tidak ada dasarnya dalam syari’at.
Artinya, bid’ah adalah cara baru yang dibuat tanpa ada contoh dari syari’at. Sebab bid’ah adalah sesuatu yang ke luar dari apa yang telah ditetapkan dalam syari’at.
Ungkapan “menyerupai syari’at” sebagai penegasan bahwa sesuatu yang diada-adakan dalam agama itu pada hakekatnya tidak ada dalam syari’at, bahkan bertentangan dengan syari’at dari beberapa sisi, seperti mengharuskan cara dan bentuk tertentu yang tidak ada dalam syari’at. Juga mengharuskan ibadah-ibadah tertentu yang dalam syari’at tidak ada ketentuannya.
Ungkapan ‘untuk melebih-lebihkan dalam beribadah kepada Allah’, adalah pelengkap dari makna bid’ah. Sebab demikian itulah tujuan para pelaku bid’ah. Yaitu menganjurkan untuk tekun beribadah, karena manusia diciptakan Allah hanya untuk beribadah kepada-Nya seperti disebutkan dalam firman-Nya: وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (Adz-Dzariyaat/51: 56). Seakan-akan orang yang membuat bid’ah melihat bahwa maksud dalam membuat bid’ah adalah untuk beribadah sebagaimana maksud ayat tersebut, dan dia merasa bahwa apa yang telah ditetapkan dalam syari’at tentang undang-undang dan hukum-hukum belum mencukupi sehingga dia melebih-lebihkan dan menambahkannya.
Perbuatan bid’ah dalam agama sangat dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya. Perbuatan bid’ah sangat dicintai oleh iblis.
Setiap Bid’ah Adalah Kesesatan
Siapa pun yang berbuat bid’ah dalam agama, walaupun dengan tujuan baik, maka bid’ahnya itu, selain merupakan kesesatan, adalah suatu tindakan menghujat agama dan mendustakan firman Allah Azza wa Jalla : اَلْيَوْمَ اَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَاَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ وَرَضِيْتُ لَكُمُ الْاِسْلَامَ دِيْنًاۗ “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu.” [Al-Maa-idah/5: 3]. Karena dengan perbuatannya tersebut, dia seakan-akan mengatakan bahwa Islam belum sempurna, sebab amalan yang diperbuatnya dengan anggapan dapat mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalla belum terdapat di dalamnya.
Sangat mengherankan, orang yang melakukan bid’ah berkenaan dengan Dzat, Asma’ dan Sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang tidak pernah dilakukan oleh ulama Salaf, ia mengatakan bahwa tujuannya adalah untuk mengagungkan dan mensucikan Allah Subhanahu wa Ta’ala, serta untuk menuruti firman Allah Azza wa Jalla:
فَلَا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَندَادًا وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ
“… Karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu (tandingan) bagi Allah padahal kamu mengetahui.” [Al-Baqarah/2: 22]
Orang tersebut juga mengatakan bahwa barangsiapa yang menyalahinya, maka dia adalah mumatsil musyabbih (orang yang menyerupakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan makhluk-Nya), atau menuduhnya dengan sebutan-sebutan jelek lainnya.
Ada lagi, orang-orang yang melakukan bid’ah dalam agama Allah Azza wa Jalla berkenaan dengan pribadi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka menganggap dengan perbuatannya itu bahwa dirinyalah orang yang paling mencintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan yang mengagungkan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, barangsiapa yang tidak berbuat sama seperti mereka maka dia adalah orang yang membenci Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, atau menuduhnya dengan sebutan-sebutan jelek lainnya yang biasa mereka pergunakan terhadap orang yang menolak bid’ah mereka. Mereka juga mengatakan: “Kamilah yang mengagungkan Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Padahal dengan bid’ah yang mereka lakukan itu, mereka sebenarnya telah bertindak lancang terhadap Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Mahamengetahui.” [Al-Hujuraat/49: 1]
Pembaca yang budiman,
Penulis ingin bertanya, dan mohon agar jawaban yang Anda berikan berasal dari hati nurani bukan secara emosional, jawaban yang sesuai dengan tuntunan agama Anda, bukan karena taklid (ikut-ikutan).
Apa pendapat Anda terhadap mereka yang melakukan bid’ah dalam agama Allah Azza wa Jalla, baik yang berkenaan dengan Dzat, Sifat dan Asma’ Allah Subhanahu wa Ta’ala atau yang berkenaan dengan pribadi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian mengatakan, “Kamilah yang mengagungkan Allah Azza wa Jalla dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” ???
Apakah mereka ini (golongan pertama) lebih berhak disebut sebagai pengagung Allah Azza wa Jalla dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ataukah orang-orang (golongan kedua) yang mereka itu tidak menyimpang seujung jari pun dari syari’at Allah Azza wa Jalla, yang berkata, “Kami beriman kepada syari’at Allah Azza wa Jalla yang dibawa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami mempercayai apa yang diberitakan, kami patuh dan tunduk terhadap perintah dan larangan, kami menolak apa yang tidak ada dalam syari’at, tidak patut bagi kami berbuat lancang terhadap Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau mengatakan dalam agama Allah Azza wa Jalla apa yang tidak termasuk ajarannya ?”
Siapakah menurut Anda, yang lebih berhak untuk disebut sebagai orang yang mencintai serta mengagungkan Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam ?
Jelas golongan yang kedua, yaitu mereka yang berkata, “Kami mengimani dan mempercayai apa yang diberitakan kepada kami, patuh dan tunduk terhadap apa yang diperintahkan, kami menolak apa yang tidak diperintahkan, dan tidak patut bagi kami mengada-adakan dalam syari’at Allah Azza wa Jalla atau melakukan bid’ah dalam agama Allah Azza wa Jalla.” Tidak ragu lagi bahwa mereka inilah orang-orang yang tahu diri dan tahu kedudukan Khaliqnya. Merekalah yang mengagungkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan merekalah yang menunjukkan kebenaran tentang kecintaan mereka kepada Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Bukan golongan pertama, yang melakukan bid’ah dalam agama Allah Azza wa Jalla, dalam hal ‘aqidah, ucapan, atau perbuatan. Padahal, sebenarnya mereka mengetahui sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
…إِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ، فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“…Jauhilah perkara-perkara baru, karena setiap perkara baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.”[3]
Dalam hadits yang lain, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ
“Setiap bid’ah adalah sesat dan setiap kesesatan tempat-nya di Neraka”[4]
Sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Setiap bid’ah” bersifat umum dan menyeluruh, dan mereka mengetahui hal itu. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyampaikan maklumat umum ini, tahu akan konotasi apa yang disampaikannya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia yang paling fasih, paling tulus terhadap umatnya, tidak akan mengatakan kecuali apa yang dipahami maknanya. Maka ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ”, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyadari apa yang diucapkan, mengerti betul akan maknanya, dan ucapan ini timbul dari beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam benar-benar tulus terhadap umatnya.
Apabila suatu perkataan memenuhi ketiga unsur ini, yaitu diucapkan dengan penuh ketulusan, penuh kefasihan dan penuh pengertian, maka perkataan tersebut tidak mempunyai konotasi lain kecuali makna yang dikandungnya.
Dengan pernyataan umum tadi, benarkah bahwa bid’ah dapat kita bagi menjadi tiga bagian, atau lima bagian?
Sama sekali tidak benar. Adapun pendapat sebagian ulama yang mengatakan bahwa ada bid’ah hasanah, maka pendapat tersebut tidak lepas dari dua hal:
- Kemungkinan tidak termasuk bid’ah tapi dianggapnya sebagai bid’ah.
- Kemungkinan termasuk bid’ah, yang tentu saja buruk, tetapi ia tidak mengetahui keburukannya.
Jadi setiap perkara yang dianggapnya sebagai bid’ah hasanah maka jawabannya adalah demikian tadi.
Dengan demikian, tak ada jalan lagi bagi ahli bid’ah untuk menjadikan suatu bid’ah mereka sebagai bid’ah hasanah, karena kita telah mempunyai senjata ampuh dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu: وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ “Dan setiap bid’ah adalah kesesatan.” Senjata ini bukan dibuat di sembarang pabrik, melainkan datang dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dibuat sedemikian sempurna. Maka, barangsiapa yang memegang senjata ini tidak akan dapat dilawan oleh siapa pun dengan bid’ah yang dikatakannya sebagai hasanah, sementara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyatakan bahwa, “Setiap bid’ah adalah kesesatan.”
‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhu berkata:
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةً.
“Setiap bid’ah adalah sesat, meskipun manusia memandang baik.”[5]
C. Hadits-Hadits Tentang Kesempurnaan Islam
[Disalin dari buku Prinsip Dasar Islam Menutut Al-Qur’an dan As-Sunnah yang Shahih, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa Po Box 264 Bogor 16001, Cetakan ke 3]
_______
Footnote
[1] Menurut Imam ath-Thurthusyi dalam al-Hawadits wal Bida’ (hal. 40) tahqiq: Syaikh ‘Ali bin Hasan bin ‘Ali ‘Abdul Hamid al-Halaby al- Atsary. Lihat ‘llmu Ushul Bida’ oleh Syaikh ‘Ali bin Hasan bin ‘Ali ‘Abdul Hamid al-Halaby al-Atsary (hal. 23), cet. Daarul Raayah th. 1417 H
[2] Lihat ‘llmu Ushul Bida’ oleh Syaikh ‘Ali bin Hasan bin ‘Ali ‘Abdul Hamid al-Halaby al-Atsary (hal. 24).
[3] HR. Ahmad (IV/126-127), Abu Dawud (no. 4607), at-Tirmidzi (no. 2676), dari Shahabat al-‘Irbadh bin Sariyah Radhiyallahu anhu. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albany dalam Irwa-ul Ghaliil, no. 2455.
[4] HR. An-Nasa-i (III/189) dari Jabir Radhiyallahu anhu dengan sanad yang shahih.
[5] Riwayat al-Laalika-iy dalam Syarah Ushuul I’tiqad Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah (no. 126), Ibnu Baththah al-‘Ukbary dalam al-Ibaanah (no. 205). Lihat ‘Ilmu Ushulil Bida’ (hal. 92).
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/2042-definisi-bidah.html